(Tulisan ke tiga dari 4 tulisan)
Oleh : M A Prihatno
(Dir. Eks. Azam Community)
Suatu ketika Rasulullah SAW menempuh sebuah perjalanan bersama sahabatnya. Saat berada pada sebuah lembah, Beliau meminta rombongan untuk berhenti, lalu memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan tulang yang berserakan di sekeliling tempat itu. Tanpa banyak tanya perintah tersebut segera dilaksanakan oleh para sahabat. Dan akhirnya, terkumpullah onggokan tulang yang menggunung.
Rasulullah sejenak memandang tumpukan tulang tersebut, kemudian berucap, “Tak ada dosa kecil jika ia dikerjakan berulang-ulang. Seperti tulang ini, sebelumnya ia berserakan tapi kini, setelah dikumpulkan, menjelma menjadi sebuah gunung kecil yang tak terbayangkan sebelumnya, terkumpul dari tulang yang berserakan”.
Indah sekali cara Rasulullah memberikan pembelajaran kepada para sahabat. Pembelajaran yang melibatkan partisipasi aktif sehingga rasionalitas dan emosionalitas para sahabat terpancing dengan serta-merta. Dengan cara yang demikian Rasulullah berhasil “menghadirkan” tentang DOSA KECIL yang sering diremehkan menjadi suatu yang memiliki vitalitas dalam prilaku kehidupan.
Kisah tersebut berkesesuaian dengan QS: al- Baqarah (7) sebagai berikut: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatannya ditutupi. Dan bagi mereka azab yang amat berat”.
Kesesuaiannya dapat kita temukan dengan analogi sebagai berikut:
Orang yang belum pernah menggunakan cangkul maka pada saat awal penggunaanya akan mengakibatkan tangannya luka bahkan berdarah, namun apabila ia terus menggunakan cangkul tersebut dan tidak memperdulikan luka maka tangannya akan kebal dan tidak akan terluka lagi; kulit tangannya menjadi tebal sehingga tidak akan melukainya lagi.
Demikian pula dengan dosa (kecil) yang dilakukan manusia. Pada awalnya ia secara sadar merasakan bahwa perbuatan itu adalah dosa. Namun, ketika perbuatan tersebut terus dilakukan maka lama-kelamaan ia tidak akan lagi menganggapnya sebagai dosa bahkan menjadi kebiasaan. Pada kondisi seperti inilah yang dinamakan “HATINYA TELAH DIKUNCI MATI”. Yaitu suatu kondisi psikologis pada diri manusia yang tidak dapat lagi membedakan mana perbuatan baik dan buruk.
Imam al-Ghazaly mengibaratkan hati manusia laksana cermin yang dapat memantulkan Cahaya-Illahi, kalau cermin tersebut kotor berdebu maka pancaran cahaya illahi akan terpantul dalam kesuraman. Oleh karena itu bersihkanlah hati dari debu-debu dosa–sekecil apapun.
Al-Ghazaly menawarkan solusinya melalui dzikir; mengingat Allah. Bahwa setiap aktivitas manusia tidak pernah lepas dari pantauanNya. Sehingga kondisi psikologis hati merasa selalu terawasi, dengan harapan dapat mengontrol perbuatan jahat yang akan dilakukan.
Namun, perasaan selalu diawasi mengakibatkan aktivitas keseharian menjadi terpaksa, untuk itu makna dzikir harus diperluas, bukan hanya “mengingat” tapi juga “bersama”. Yang, dengan ini menjadikan HATI MERASA “DEKAT DALAM KEBERSAMAAN” BUKAN “INGAT DALAM KETERPAKSAAN”.
Lalu apa hubungannya semua itu dengan sholat?.
Bahwa terkuncinya hati adalah melalui proses atas perbuatan yang selalu dilakukan. Hati tidak terkunci dengan serta-merta. Proses penguncian hati manusia melalui jalan-sejarah yang dilaluinya; cara melihat, cara merasa, cara berpikir, cara berprilaku, cara merespon diri dan lingkungan menjadi faktor yang menentukan kondisi hati, untuk terkunci atau sebaliknya.
Nah, Sholat yang merupakan MI’RAJNYA KAUM BERIMAN, menuntun manusia untuk melepaskan diri dari jalan-sejarah. Sholat dalam perspektif mi’raj berarti meninggalkan seluruh ikatan sejarah keduniawian menuju ke Sang Perkasa. Sebagaimana Nabi yang mi’raj meninggalkan dunia menembus puncak spiritual kemanusiaan.
Sholat yang bermi’raj inilah yang akan membuka kunci hati dari ikatan jalan-sejarah. Maka di tengah kebisingan dan keriuhan nikmat dunia sholat mampu menjadi tawaran penting untuk sebuah hati yang bercahaya Illahi.
Lalu sholat yang bagaimana yang mampu me-mi’raj-kan kaum beriman supaya hatinya tidak terkunci lagi?
Pada titik ini Azam tak (belum) mampu menjawabnya, semoga ada dari sahabat di sini yang bisa membantu Azam.
Wallahu ‘alam bissawab.
(Bersambung)