27 September 2025

Kasus SMP Lubuklinggau: Identitas Korban Asusila, Bagaimana Melindunginya?

0

Kasus SMP Lubuklinggau: Identitas Korban Asusila, Bagaimana Melindunginya?

IMG-20250924-WA0001

Ilustrasi

Oleh: Deni Irwansyah

Kasus dugaan asusila di salah satu SMP Negeri di Kota Lubuklinggau kembali menyayat hati kita. Luka itu bukan hanya soal peristiwa kelam yang menimpa seorang anak, melainkan juga tentang bagaimana media memilih memberitakan kasus tersebut.

Nama korban, nama orang tua memang disamarkan, tetapi wajahnya tetap terpampang jelas. Tidak berhenti di situ, sebagian media bahkan menyinggung keluarga dan lingkungan sekolah. Pertanyaannya: apakah itu bisa disebut bentuk perlindungan?

Apakah media masih pantas bicara soal kode etik jika wajah anak, orang tua korban dibiarkan tampil tanpa penyamaran?
Apakah cukup hanya mengganti nama, sementara foto, alamat, dan sekolah justru membuka identitas sebenarnya?
Apakah pantas kita menulis berita dengan cara yang memperdalam trauma korban, padahal anak itu sedang berjuang untuk pulih secara mental?
Apakah kita masih bicara tentang kebenaran, atau sekadar mengejar sensasi agar berita lebih laku dibaca?

Saya kira, pertanyaan-pertanyaan ini tidak perlu saya jawab. Biarlah masing-masing rekan jurnalis merenungkannya sendiri.

Yang pasti, sejak lama para senior pers sudah menegaskan garis etik: nama, wajah, alamat, hingga identitas sekolah korban maupun keluarga tidak boleh dipublikasikan. Itu bukan sekadar aturan tertulis, melainkan tanggung jawab moral. Sebab membuka identitas korban sama saja dengan menempatkan mereka dalam stigma dan rasa malu seumur hidup.

Kita boleh berbeda gaya menulis, berbeda sudut pandang, bahkan berbeda tingkat keberanian dalam mengkritisi kasus. Tetapi dalam urusan melindungi anak korban asusila, kita seharusnya berada di garis yang sama: menjaga kerahasiaan identitas mereka.

Biarlah proses hukum berjalan, biarlah aparat bekerja menuntaskan perkara. Tugas kita sebagai pers adalah memastikan anak korban tidak kembali menjadi “korban kedua” di ruang publik.

Akhirnya, kita sama-sama mengingatkan: kebebasan pers adalah hak kita, tetapi menjaga martabat korban adalah kewajiban kita. Dan hari ini, pertanyaannya sederhana: sudahkah media menjalankan kewajiban itu dengan sungguh-sungguh?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *