Seragam Sekolah: Penjara Kain di Negeri yang Katanya Merdeka

ILUSTRASI

Catatan: Redaksi RI MEDIA

Di tengah gegap-gempita jargon “pemerataan akses pendidikan”, ada kebusukan yang terus dibiarkan tumbuh seperti borok yang tak diobati: pungutan seragam sekolah. Setiap tahun, kisah ini datang kembali, berganti wajah tapi membawa aroma busuk yang sama. Padahal aturan sudah jelas. Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 secara gamblang melarang pungutan seragam di sekolah negeri yang tidak sesuai ketentuan. Tapi di lapangan? Aturan itu tak lebih dari pajangan kusam di dinding ruang guru—dipasang untuk dilanggar.

Yang terjadi bukan sekadar penyimpangan administratif. Ini pemerasan terselubung, dipoles dalam bentuk “sumbangan sukarela” dan “kesepakatan komite” yang dibuat tanpa dialog, tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas. Seragam dijadikan alat kontrol sosial dan mekanisme diskriminasi ekonomi. Lebih menyakitkan lagi, banyak sekolah menjadikan pembayaran seragam sebagai syarat daftar ulang. Anak-anak dipaksa memilih antara menyerah pada sistem yang tidak adil, atau kehilangan hak dasarnya untuk sekolah. Seragam bukan lagi simbol kesetaraan, melainkan penjara kain yang mengekang masa depan.

Apa bedanya ini dengan pungli berjubah legalitas? Dengan harga seragam yang telah “disepakati” lengkap dengan merek dan penjahit tertentu, sekolah negeri telah menjelma jadi pasar gelap yang dilegalkan. Ini bukan soal kain atau model pakaian, ini soal ketimpangan yang dibungkus rapi dalam seragam. Ini pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yang menjanjikan pendidikan untuk semua, tanpa syarat, tanpa diskriminasi.

Dan di mana negara saat ini terjadi? Diam. Atau lebih tepatnya: pura-pura tuli. Padahal pendidikan publik kini sedang disandera oleh elitisme lokal—oknum sekolah, komite, bahkan dinas yang menjadikan aturan sebagai alat dagang. Negara tidak hadir melindungi yang lemah, tapi malah memberi ruang bagi kejahatan kolektif yang mengatasnamakan “aturan sekolah”.

Cukup. Ombudsman RI, dinas pendidikan, dan para pengambil kebijakan harus berhenti bersilat lidah. Pengawasan bukan soal menerima laporan pasif, tapi soal kemauan untuk membongkar kebusukan hingga ke akar. Sekolah yang bandel harus disanksi nyata. Komite yang menyalahgunakan fungsi harus dibekukan. Pemerintah wajib menertibkan: biarkan orang tua menentukan di mana beli seragam, dari siapa, dan dengan harga yang manusiawi—tanpa tekanan, tanpa format baku yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Seragam seharusnya menyatukan, bukan memisahkan. Sekolah seharusnya menjadi rumah yang menerima semua anak, bukan menjadi ruang eksklusif bagi mereka yang mampu membayar. Jika negara sungguh-sungguh ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pungutan liar—sekecil apa pun bentuk dan dalihnya—harus diberantas total. Karena hak atas pendidikan tidak boleh dikompromikan oleh kain, merek, atau warna.

Dan jika negara terus diam, maka kita harus berteriak lebih keras. Karena diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk lain dari kejahatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *