Pasal 8 UU Pers: “Tak Multitafsir”, Tapi Masih Samar di Lapangan
Pasal 8 UU Pers: “Tak Multitafsir”, Tapi Masih Samar di Lapangan

Oleh: Deni Irwansyah
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak multitafsir dan sudah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan.
Pernyataan itu disampaikan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, menanggapi gugatan dari Ikatan Wartawan Hukum Indonesia (IWAKUM) yang menilai pasal tersebut terlalu umum dan bisa disalahartikan. Dilangsir dari: HukumOnline.com
Secara normatif, Pasal 8 berbunyi:
“Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”
Penjelasan pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat terhadap wartawan dalam menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam kenyataannya, kalimat sederhana ini masih menyisakan tanda tanya besar: apakah perlindungan yang dijanjikan benar-benar dirasakan oleh para wartawan di lapangan?
Antara Retorika dan Realitas
Pemerintah menyebut Pasal 8 sebagai norma terbuka (open norm) — yang berarti bisa diterapkan secara fleksibel mengikuti dinamika zaman dan kebutuhan hukum. Pemerintah juga menegaskan bahwa perlindungan bagi wartawan tidak hanya bersumber dari UU Pers, tetapi juga diperkuat oleh berbagai regulasi lain seperti kerja sama antara Dewan Pers dan Kepolisian, dukungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hingga Surat Edaran Mahkamah Agung.
Di atas kertas, semua itu tampak ideal. Tapi kenyataannya, wartawan masih sering menghadapi tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi saat meliput dan menulis berita.
Jika Pasal 8 benar-benar tidak multitafsir, seharusnya perlindungan hukum itu hadir otomatis ketika seorang wartawan bekerja sesuai kode etik jurnalistik.
Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya: wartawan dijerat hukum dengan pasal-pasal umum seperti pencemaran nama baik atau penyebaran informasi palsu, meski karyanya sudah sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Masalah di Mekanisme Perlindungan
Permohonan uji materi dari IWAKUM ke Mahkamah Konstitusi bukan tanpa alasan. Mereka melihat Pasal 8 belum memberi kepastian mekanisme perlindungan. Tidak dijelaskan secara jelas bagaimana prosedur yang harus dilalui jika wartawan menghadapi gugatan atau proses hukum.
Jika tidak ada mekanisme tegas, maka “jaminan perlindungan” itu hanya berhenti di atas kertas.
Wartawan tetap bisa diperiksa, dipanggil, atau bahkan ditahan tanpa melibatkan Dewan Pers terlebih dahulu.
Padahal, Dewan Pers seharusnya menjadi garda terdepan dalam menilai apakah suatu persoalan merupakan pelanggaran etik atau murni pelanggaran hukum. Tanpa mekanisme itu, Pasal 8 berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik dan menghambat kebebasan pers.
Perlindungan Bukan Kekebalan
Pemerintah menegaskan bahwa perlindungan hukum tidak berarti wartawan kebal hukum. Ini benar. Wartawan tetap bisa dimintai pertanggungjawaban bila melanggar etik atau hukum.
Namun, perbedaan antara tanggung jawab hukum dan kriminalisasi profesi sangat tipis di lapangan.
Ketika berita investigatif dipolisikan karena “merugikan pihak tertentu”, atau liputan tentang penyimpangan pejabat dianggap mencemarkan nama baik, maka perlindungan hukum yang dijanjikan menjadi tidak bermakna.
Wartawan tidak minta kebal hukum – mereka hanya ingin dilindungi ketika bekerja untuk kepentingan publik.
Perlu Kepastian Prosedural
Agar Pasal 8 benar-benar hidup dan efektif, negara harus memperjelas mekanisme perlindungan hukum bagi wartawan.
Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
Penegasan bahwa wartawan tidak dapat diproses hukum tanpa melalui Dewan Pers.
Semua sengketa berita harus diselesaikan terlebih dahulu lewat mekanisme etik.
Aparat wajib berkoordinasi dengan Dewan Pers sebelum mengambil tindakan hukum.
Negara menyediakan bantuan hukum cepat bagi wartawan yang terancam saat bekerja.
Tanpa langkah konkret seperti ini, klaim bahwa Pasal 8 “tidak multitafsir” hanya menjadi narasi hukum yang indah, tapi tak punya daya lindung.
Menutup dengan Kejujuran
Boleh jadi Pemerintah benar dalam tafsir hukum formalnya, bahwa Pasal 8 sudah cukup jelas.
Namun, hukum tidak hanya dinilai dari teksnya, tetapi juga dari rasa aman mereka yang dilindungi oleh teks itu.
Selama masih ada wartawan yang takut menulis karena ancaman pidana, selama masih ada redaksi yang menahan berita karena tekanan hukum, maka Pasal 8 tetap menyimpan multitafsir – bukan di kalimatnya, tapi di pelaksanaannya.
Perlindungan hukum bagi wartawan seharusnya bukan hanya janji, melainkan bukti nyata bahwa negara hadir menjaga kebebasan pers.
Karena ketika wartawan bungkam, bangsa pun kehilangan suaranya.