Catatan:: Deni Irwansyah
Ditulis dari kisah kehidupan
Dunia yang terus bergerak cepat, kadang kita lupa bahwa kebahagiaan sejati bukan soal kemewahan atau kenyamanan, melainkan tentang kenangan dan rasa syukur yang tumbuh dari kesederhanaan. Inilah kisah nyata, bukan dongeng, tentang empat anak yatim yang hidup dalam keterbatasan, tapi justru menemukan makna kehidupan dari hal-hal yang mungkin tak pernah dilirik oleh orang lain—rempesan tahu.
Tepat di depan Batalyon 144 Bengkulu, berdirilah sebuah pabrik tahu. Tidak mewah, tidak besar, namun setiap hari dari sana keluar aroma hangat yang khas—bau tahu baru matang yang menyelinap sampai ke rumah-rumah warga sekitar. Bagi sebagian orang, itu hanya aroma biasa. Tapi bagi empat anak yatim yang tinggal tak jauh dari sana, aroma itu seperti panggilan, seperti undangan dari langit untuk menjemput rezeki yang penuh berkah.
Hidup tanpa sosok ayah di usia muda membuat mereka belajar cepat. Kakak tertua menjadi sandaran, adik bungsu jadi penghibur. Mereka hidup dalam keadaan pas-pasan, namun tidak pernah meminta-minta. Yang mereka miliki hanyalah semangat, kebersamaan, dan uang Rp2.000 setiap hari. Dengan uang itulah, mereka berjalan beriringan menuju pabrik tahu, berharap mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai “rempesan tahu”.
Rempesan tahu adalah potongan-potongan tak beraturan, sisa dari proses pemotongan tahu yang tidak dijual di pasaran. Tapi di tangan pemilik pabrik—yang namanya mungkin sudah terlupakan oleh banyak orang, tapi tetap hidup dalam hati mereka—rempesan tahu itu diberikan dengan keikhlasan. Setiap kali keempat anak itu datang, mereka selalu disambut dengan senyum dan kantong plastik besar berisi rempesan tahu.
Mereka tidak merasa hina. Tidak merasa rendah. Karena yang mereka bawa pulang bukan hanya makanan, tapi juga harapan. Di meja makan sederhana rumah mereka, rempesan tahu itu dibagi rata, dimasak bersama nasi putih, mungkin kadang hanya ditumis dengan garam, atau sesekali jika sedang beruntung, bisa ditambah sedikit cabai. Tapi tidak soal bumbu—yang paling terasa adalah rasa syukur.
Rempesan tahu itulah yang menyatukan mereka. Bukan karena apa yang dimakan, tapi karena bagaimana mereka memakannya—dengan penuh cinta, tawa, dan kadang air mata. Di situlah mereka tumbuh. Belajar bahwa kehidupan tidak selalu adil, tapi selalu bisa dijalani dengan hati yang lapang. Bahwa meski kehilangan sosok ayah, mereka tidak kehilangan semangat untuk hidup.
Kini waktu telah berjalan jauh. Rumah itu mungkin sudah sepi. Anak-anak yatim itu kini tumbuh dewasa, berpencar menapaki hidup masing-masing. Dunia telah membawa mereka pada realitas yang berbeda. Namun satu hal yang tetap tinggal: kenangan tentang rempesan tahu.
Bila kenangan itu datang, mereka tidak hanya mengingat rasa asin gurih dari tahu itu, tapi juga rasa damai, rasa diterima, rasa kebersamaan yang mungkin tak tergantikan oleh apapun. Mereka tahu, bahwa masa itu—masa saat tak ada yang sempurna namun semuanya terasa cukup—adalah masa terbaik dalam hidup mereka.
Mereka kini rindu. Rindu bukan hanya pada tahu, tapi pada diri mereka sendiri yang dulu: yang kuat meski lemah, yang bersyukur meski kekurangan, yang saling menjaga meski tak punya apa-apa. Mereka rindu berjalan kaki bersama. Rindu membuka kantong plastik yang isinya adalah rezeki yang tak ternilai. Dan lebih dari itu, mereka rindu pada satu sama lain. Sebab rempesan tahu bukan hanya makanan, tapi adalah lambang cinta, pengikat jiwa, warisan kasih yang tidak akan pernah lapuk oleh waktu.
Jika hari ini kita bisa makan enak, hidup nyaman, mari jangan lupakan bahwa di luar sana masih banyak hati yang hidup dalam kenangan—kenangan sederhana, tapi penuh makna.
Dan bagi empat anak yatim itu, rempesan tahu adalah bukti bahwa kasih Allah swt bisa hadir lewat tangan orang-orang biasa.
Kami rindu masa itu… masa saat hidup belum sempurna, tapi hati kami penuh cinta.