Catatan: Seorang Wartawan Muda
Minggu, 1 Juni 2025 – Dalam Peringatan Hari Lahir Pancasila
Di sebuah kota kecil di Pulau Sumatera, harapan itu tumbuh dalam diri seorang anak laki-laki. Ia bukan berasal dari pusat kota yang megah, bukan pula anak dari tokoh berpengaruh. Tapi di matanya terpancar tekad yang besar: mengabdi untuk Merah Putih, demi tanah air, demi Pancasila yang hari ini kita peringati kelahirannya.
Setelah menamatkan pendidikan SMK, pemuda itu memberanikan diri mendaftar sebagai calon Tamtama TNI Angkatan Darat. Langkah yang ia ambil tidak dilandasi ambisi pribadi, tetapi oleh panggilan jiwa untuk menjaga kedaulatan bangsa, berkontribusi nyata bagi negeri yang dicintainya. Di saat sebagian anak muda memilih jalan-jalan lain, ia memilih jalan pengabdian.
Ayahnya adalah wartawan. Seorang pencatat peristiwa. Di tangan sang ayah, tulisan menjadi alat perjuangan, menjadi suara untuk kebenaran dan keadilan. Ayahnya mengabdi kepada bangsa ini—bukan lewat senjata, tetapi lewat pena. Sementara sang anak ingin mengabdi lewat disiplin militer dan loyalitas kepada negara.
Ketika hendak berangkat menjalani seleksi, sang anak sempat bertanya kepada ayahnya:
“Siapa pendukung kita?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi dalam. Seolah menyadarkan bahwa ia datang dari keluarga tanpa dukungan kekuasaan, tanpa jaringan besar. Sang ayah terdiam sejenak. Lalu dengan penuh keteguhan, menjawab:
“Allah, Tuhan kita yang mendukung kita. Mudah-mudahan dengan doa, kamu bisa melewati tahap seleksi.”
Dan itulah kenyataan yang dipegang keluarga ini. Bahwa harapan tidak tumbuh dari fasilitas, tetapi dari keyakinan. Bahwa yang mendorong langkah bukan dorongan kekuasaan, tetapi restu langit dan keikhlasan niat.
Di hari yang bersejarah ini, ketika bangsa memperingati lahirnya Pancasila, kisah ini menjadi potret kecil tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila hidup dalam keseharian rakyat biasa. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan—semuanya tercermin dalam langkah sang anak dan ketulusan sang ayah.
Satu mengabdi lewat disiplin militer, satu lagi mengabdi lewat tulisan dan informasi. Dua medan yang berbeda, namun satu semangat: Indonesia. Mereka tidak menuntut pujian, tidak pula menanti sorotan. Tapi dari kampung yang jauh dari hiruk-pikuk pusat kekuasaan, mereka menyalakan api pengabdian.
Semoga perjuangan sang anak tidak sia-sia. Dan meski hasil akhirnya belum terlihat hari ini, keberanian untuk melangkah, kejujuran dalam niat, dan doa yang terus mengiringi, sudah cukup menjadikan ia pahlawan dalam pandangan orang tuanya—dan dalam pandangan bangsa ini. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang lahir dari harapan orang-orang kecil yang punya keyakinan besar.
Selamat Hari Lahir Pancasila.
Dari kota kecil, kita menjaga Indonesia tetap besar.