Catatan: RI MEDIA
Masih segar dalam ingatan kita momen haru dan getir yang menyayat hati: seorang prajurit TNI bernama Sertu Al Hadid tak kuasa menahan tangis di ruang sidang militer, Rabu, 18 Juni 2025. Bukan karena cedera fisik akibat pertempuran atau luka karena membela bangsa, tapi karena diberhentikan dengan tidak hormat dari kesatuan yang selama ini ia bela, usai terbukti melakukan penipuan terhadap calon siswa TNI.
Vonis 10 bulan penjara dari Pengadilan Militer I-02 Medan hanyalah satu bagian dari hukuman yang dijatuhkan. Namun, lebih dari itu, ada hukuman moral yang jauh lebih berat—dikeluarkan dari kehormatan seragam loreng, yang seharusnya menjadi simbol kemuliaan, kedisiplinan, dan integritas.
Kasus ini mengungkap luka yang lebih dalam: pembusukan nilai dari dalam tubuh institusi, saat sebagian oknum menjadikan jalur seleksi TNI, Polri, maupun ASN sebagai ladang bisnis, bukan ladang pengabdian.
Dalam kasus ini, Sertu Al Hadid menjanjikan kepada orang tua calon siswa bahwa anaknya akan lolos seleksi TNI dengan membayar Rp783 juta. Tapi apa yang terjadi? Janji itu kosong. Uang lenyap, masa depan pemuda itu pupus, dan kehormatan seorang prajurit pun hancur.
Lantas, apakah kita akan berhenti pada kalimat “Sudah dihukum, selesai”?
Tidak.
Kasus ini bukan sekadar potret kesalahan satu orang, tapi refleksi dari celah sistemik yang masih belum tertutup rapat. Masih ada persepsi publik yang percaya bahwa untuk menjadi abdi negara, harus punya “orang dalam” dan “uang pelicin”. Ini adalah cambuk keras bagi seluruh institusi: TNI, Polri, dan Pemerintah, bahwa masih banyak yang perlu dibenahi di akar moral dan sistem rekrutmen.
Para pimpinan institusi pertahanan dan keamanan, dengarlah baik-baik. Sertu Al Hadid bukan hanya gagal menjaga nama baik TNI, tapi juga mencoreng kepercayaan masyarakat. Jika satu orang bisa membuka celah jual-beli kursi, maka tak menutup kemungkinan ada banyak Sertu Al Hadid lain di luar sana—yang mungkin belum terungkap.
Pemerintah pusat dan daerah juga tak bisa lepas tangan. Jika komitmen pada reformasi birokrasi dan pembangunan SDM benar-benar serius, maka rekrutmen di segala lini harus bersih, transparan, dan berbasis kompetensi, bukan transaksional.
Kami, rakyat biasa, mungkin tidak punya pangkat dan jabatan, tapi kami masih punya suara dan nurani. Kami mendambakan aparat yang terlahir dari proses yang jujur, bukan dari jalur pungli dan tipu-tipu.
Biarlah kisah Sertu Al Hadid menjadi peringatan keras dan nyata—bukan hanya bagi calon penipu di kemudian hari, tetapi juga bagi institusi yang terlena dengan nama besar namun lupa menjaga kehormatan dari dalam.
Seragam loreng dan cokelat bukan sekadar pakaian—itu adalah cermin kehormatan bangsa. Jangan biarkan ia ternoda karena kelengahan, pembiaran, atau pembusukan dari dalam.
Semoga bangsa ini belajar. Jangan sampai tangisan Sertu Al Hadid hanya jadi tontonan, bukan pelajaran.