27 September 2025

Suku Lembak: Jejak Sejarah, Budaya, dan Potensi Alam di Tanah Bengkulu

0

Suku Lembak: Jejak Sejarah, Budaya, dan Potensi Alam di Tanah Bengkulu

IMG-20250924-WA0008

Foto: Tangkapan Layar Google Maps

Kutipan-kutipan Sejarawan

DiTulis Ulang Oleh Redaksi RI MEDIA

Suku Lembak, atau yang akrab disebut Wang Kite Gale, merupakan salah satu subsuku Melayu yang mendiami wilayah Provinsi Bengkulu dan sebagian Sumatera Selatan. Persebaran mereka cukup luas, mulai dari Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Rejang Lebong, hingga Kepahiang. Di Sumatera Selatan, sebagian komunitas Lembak juga masih dapat ditemui, terutama di daerah perbatasan.

Sebagai suku pribumi asli, masyarakat Lembak memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan kebudayaan Melayu di Sumatera. Mereka dikenal sebagai masyarakat agraris yang gigih, sekaligus berperan penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Hingga kini, jejak sejarah, tradisi, dan potensi alam wilayah Lembak masih menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Bengkulu.

Asal Usul dan Sejarah

Asal Usul Nama dan Identitas
Nama “Lembak” diyakini berasal dari kata lembah atau lebak yang berarti tanah panjang berliku-liku. Menurut sejarawan lokal, Drs. A. Gani Akhyar, “penamaan Lembak tidak dapat dilepaskan dari kondisi geografis dan pola hidup masyarakat yang dekat dengan alam, terutama kawasan perbukitan dan aliran sungai yang subur.”

Secara etnografi, Suku Lembak termasuk dalam rumpun Melayu. Prof. Dr. Mestika Zed menegaskan, “Lembak merupakan salah satu cabang penting dari suku-suku Melayu tua yang menempati pedalaman Bengkulu dan Sumatera Selatan, dengan bahasa serta adat istiadat yang khas.”

Sejarah Lokal di Bengkulu

Eksistensi Lembak tercermin dalam sejarah lokal, salah satunya melalui Kerajaan Sungai Hitam yang diyakini didirikan oleh leluhur mereka. Sejarawan Bengkulu, H. Zamzam Effendy, menulis: “Kerajaan Sungai Hitam bukan hanya simbol kekuasaan, melainkan pusat budaya dan adat istiadat yang diwariskan hingga kini.”

Peran dalam Perlawanan Kolonial

Dalam sejarah kolonial, masyarakat Lembak tercatat ikut serta dalam perlawanan terhadap Inggris dan Belanda, mempertahankan tanah adat mereka. Sejarawan Universitas Bengkulu, Dr. Ardiansyah, menyebutkan, “perlawanan masyarakat pedalaman Bengkulu, termasuk Lembak, menunjukkan adanya kesadaran politik dan harga diri kolektif yang tinggi dalam mempertahankan tanah ulayat.”

Pengaruh Islam

Islam masuk ke wilayah Lembak melalui jalur perdagangan di pesisir barat Sumatera. Prof. Azyumardi Azra dalam kajiannya menekankan, “Islamisasi di Sumatera bagian selatan terjadi secara gradual, melalui perdagangan, perkawinan, serta pengaruh ulama-ulama Melayu.” Hal yang sama berlaku di tanah Lembak, di mana ajaran Islam menyatu dengan adat setempat hingga kini.

Kehidupan Sehari-hari

Mata Pencarian
Mayoritas masyarakat Lembak menggantungkan hidup dari sektor agraris. Pertanian padi sawah, palawija, serta perkebunan menjadi tulang punggung ekonomi mereka. Sebagian besar pria juga bekerja sebagai penyadap karet, pengelola kebun kopi, hingga usaha pembuatan batu bata.

Sistem Sosial dan Tradisi

Kehidupan sosial masyarakat Lembak masih memegang erat nilai gotong royong. Tradisi daur hidup tetap dipelihara, mulai dari kelahiran, cukur rambut bayi, khitanan, pernikahan, hingga kematian. Antropolog UGM, Dr. Irwan Abdullah, menegaskan, “kekuatan komunitas pedesaan di Sumatera, termasuk masyarakat Lembak, terletak pada ikatan sosial yang kokoh dan ketaatan terhadap adat yang diwariskan lintas generasi.”

Budaya dan Bahasa

Bahasa Lembak
Bahasa Lembak termasuk dalam rumpun Austronesia, dengan ragam dialek seperti Lembak Lapan, Lembak Bulang, dan Lembak Beliti.

Kesenian Tradisional

Salah satu kesenian khas Lembak adalah Sarafal Anam, yakni shalawat yang diiringi tabuhan terbangan. Penelitian Balai Bahasa Bengkulu mencatat, “Sarafal Anam bukan sekadar hiburan, melainkan sarana dakwah Islam yang diperkenalkan sejak awal masuknya Islam di Bengkulu.”

Hubungan dengan Suku Rejang dan Suku Lain

Suku Lembak memiliki hubungan erat dengan Suku Rejang yang sama-sama mendiami wilayah Bengkulu tengah. Keduanya sering disebut sebagai “saudara tua” dan “saudara muda” karena kesamaan adat, dan pola hidup.

Antropolog Dr. Irwan Abdullah (UGM) menjelaskan, “Hubungan antara Lembak dan Rejang tidak bisa dipisahkan karena keduanya berbagi ruang hidup yang sama. Perbedaan hanyalah variasi lokal dari kebudayaan Melayu pedalaman Bengkulu.”

Prof. Mestika Zed menulis, “Suku Lembak dan Rejang sama-sama etnik tua di Bengkulu. Lembak lebih dekat dengan suku-suku di Sumatera Selatan seperti Basemah, sedangkan Rejang lebih kuat dipengaruhi budaya hulu sungai di pedalaman Sumatera.”

Sejarawan Bengkulu, H. Zamzam Effendy, menambahkan, “Jika Rejang dikenal dengan bahasa dan tulisan Kaganga, maka Lembak dikenal dengan bahasa lisan yang lebih terbuka terhadap pengaruh luar. Hubungan keduanya ibarat dua sisi mata uang: berbeda, tapi saling melengkapi dalam sejarah Bengkulu.”

Selain dengan Rejang, Lembak juga memiliki kedekatan dengan suku Basemah, Serawai, dan Kaur. Catatan Balai Bahasa Bengkulu menyebutkan, “Dialek Lembak memperlihatkan irisan dengan bahasa Basemah dan Serawai, yang menunjukkan adanya interaksi intens antar suku di Bengkulu dan Sumatera Selatan selama berabad-abad.”

Dengan demikian, posisi Suku Lembak dapat dipahami sebagai jembatan budaya antara masyarakat Rejang di pedalaman Bengkulu dan masyarakat Melayu Sumatera Selatan, yang memperkaya mosaik kebudayaan di kawasan ini.

Potensi Alam dan Ekonomi

Wilayah Lembak, khususnya di Kabupaten Rejang Lebong, menyimpan potensi alam yang besar.

Pertanian dan Perkebunan

Selain kopi sebagai komoditas unggulan, wilayah ini berpotensi mengembangkan karet, kelapa, sawit, aren, dan kakao. Kabupaten Rejang Lebong juga dikenal sebagai lumbung holtikultura terbesar di Bengkulu.

Pariwisata Alam dan Budaya

Keindahan Danau Mas Harun Bastari, Bukit Kaba, Suban Air Panas, hingga air terjun seperti Batu Betiang, Sindang Kelingi, dan Curup Embun menjadikan wilayah ini primadona wisata alam. Potensi wisata budaya juga besar, dengan rumah adat serta situs sejarah yang bisa diangkat sebagai daya tarik unggulan.

Penutup

Suku Lembak adalah bagian penting dari mosaik kebudayaan Bengkulu dan Sumatera Selatan. Mereka bukan hanya pewaris sejarah panjang, tetapi juga komunitas yang berhasil menjaga identitas budaya di tengah arus modernisasi.

Sejarawan lokal, H. Zamzam Effendy, menyimpulkan: “Menulis tentang Lembak sama dengan menulis tentang wajah asli Bengkulu. Selama Lembak ada, sejarah dan budaya Bengkulu tidak akan pernah hilang.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *