Catatan: Deni Irwansyah
Tanah kelahiranku, Empat Lawang, sedang tidak baik-baik saja. Di tengah jerit sunyi rakyat yang berharap pada keadilan, justru kejahatan berselingkuh dengan kekuasaan. Aroma busuk korupsi semakin menusuk, dan yang lebih menyakitkan, pelakunya bukan orang jauh—melainkan mereka yang seharusnya jadi pengabdi, bukan penghisap.
Baru-baru ini publik diguncang dengan dugaan korupsi proyek APAR (Alat Pemadam Api Ringan) fiktif, yang disinyalir dikendalikan oleh seorang tenaga ahli DPRD berinisial AP. Proyek itu bukan main-main. Bukan dari dana pribadi, tapi dari Dana Desa—uang rakyat paling murni, yang semestinya sampai ke ujung dusun dalam bentuk pembangunan nyata. Tapi nyatanya? Yang sampai justru kertas kosong dan laporan palsu.
Belum selesai masyarakat mencerna kejadian ini, muncul lagi skandal pemerasan bermodus wartawan gadungan. Korbannya adalah institusi yang seharusnya menjaga netralitas dan integritas demokrasi: Bawaslu. Sebuah pertanyaan besar muncul—Ada apa di balik hibah Rp8 miliar yang mengalir ke Bawaslu? Kenapa begitu rawan disusupi kepentingan gelap? Apakah pengawasan internal mati rasa atau memang sengaja dibuat tumpul?
Semua ini bukan kebetulan. Rakyat makin curiga bahwa kasus-kasus ini bukan ulah pelaku tunggal. Mustahil seorang AP bisa mengatur semuanya sendirian tanpa jaringan. Mustahil pemerasan dan manipulasi dana bisa terjadi tanpa adanya pembiaran dari oknum lain. Maka pertanyaannya jelas:
Kemana Aparat Penegak Hukum (APH)?
Apakah mereka diam karena takut, atau sudah masuk dalam sistem yang sama busuknya? Rakyat menunggu, bukan hanya penangkapan simbolik, tapi pembongkaran tuntas sampai ke akar-akarnya. Jangan berhenti di satu dua nama, tapi buka jejaringnya, bongkar kroni-kroninya, dan bawa semuanya ke meja hijau.
Dan satu lembaga yang harus kita tagih jawabannya adalah BPK RI. Di mana fungsi audit dan pengawasan mereka? Apakah hasil pemeriksaan mereka selama ini hanya jadi dokumen formalitas? Apakah ada hasil audit terhadap dana hibah Bawaslu, proyek desa, atau anggaran DPRD yang sengaja dikubur?
Kami rakyat Empat Lawang tidak buta dan tidak tuli. Kami melihat dan mencatat. Kami tidak ingin negeri kecil kami ini terus jadi panggung korupsi elit lokal yang bertopeng pelayanan. Kami muak melihat pejabat yang pura-pura bersih tapi diam saat rakyat bertanya.
Jika semua lembaga penegak hukum masih punya nurani, buktikan! Tunjukkan keberpihakan pada rakyat, bukan pada kekuasaan. Jangan sampai opini ini berubah menjadi seruan putus asa yang menggugat negara.
Karena jika hukum terus dibiarkan tumpul ke atas, rakyat akan mengambil caranya sendiri. Dan ketika rakyat sudah tidak percaya hukum, maka kegentingan bukan lagi sebatas opini—tapi ancaman nyata bagi demokrasi lokal.