Rejang Lebong, ri-media.id —
Pagi, halaman Pendopo Pat Petulai diselimuti udara dingin khas Curup. Namun seiring sinar mentari menembus kabut tipis, suasana berubah hangat. Ratusan anak Raudhatul Athfal (RA) bersama orang tua dan guru mereka tampak bersemangat mengikuti kegiatan Gerakan Nasional RA Membatik (Gernasratik) yang digelar dalam rangka Milad Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA) ke-23.
Dengan tema “Tumbuhkan Generasi Cinta Budaya Indonesia”, acara ini menjadi lebih istimewa karena Bupati Rejang Lebong, H. M. Fikri Thobari, S.E., M.A.P., bersama Bunda PAUD Intan Larasita Fikri turun langsung ke tengah anak-anak — bukan sekadar memberi sambutan, tapi benar-benar mendampingi mereka membatik, menuntun tangan mungil yang sedang menorehkan warna di atas kain mori putih.
Warna, Senyum, dan Kehangatan di Tengah Pendopo
Di atas tikar dan meja panjang, anak-anak RA mulai menuangkan imajinasi mereka. Ada yang serius menggambar bebek kecil, ada yang tersenyum malu-malu saat cat mereka menetes di luar garis. Di antara keramaian itu, Bupati Fikri berjalan perlahan, menyapa satu per satu anak sambil sesekali menunduk melihat hasil karya mereka.
“Warna birunya bagus sekali, ini batik untuk siapa?” tanya Fikri sambil tersenyum.
Anak kecil itu menjawab polos, “Untuk ibu, Pak.”
Bunda Intan yang berada di sampingnya menatap hangat, lalu berucap lembut, “Bagus sekali, Nak. Ibu pasti bangga.”
Pemandangan sederhana itu membuat banyak guru dan orang tua terharu. Tak banyak pemimpin yang mau hadir sedekat itu dengan dunia anak-anak — apalagi ikut larut dalam kegiatan budaya yang penuh makna.
420 Anak, 420 Orang Tua, 19 Lembaga — Semua Bersatu dalam Warna
Menurut Ketua IGRA Kabupaten Rejang Lebong, Purgianti, kegiatan Gernasratik kali ini diikuti 420 santri RA dan 420 wali santri dari 19 lembaga RA se-Kabupaten Rejang Lebong.
Setiap anak memegang kain mori dengan gambar karikatur anak bebek, lalu mewarnainya dengan empat warna utama: kuning, biru, merah, dan hitam. Di bawah panduan instruktur H. Saadah, kegiatan itu bukan sekadar melatih keterampilan tangan, tapi juga mengenalkan nilai kesabaran, keindahan, dan cinta terhadap budaya bangsa sejak usia dini.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin menumbuhkan kecintaan anak-anak terhadap budaya Indonesia, khususnya batik yang merupakan warisan leluhur kita,” ujar Purgianti dengan nada bangga.
Apresiasi dan Harapan dari Pemimpin Daerah
Dalam sambutannya, Bupati Fikri Thobari menegaskan bahwa kegiatan seperti ini penting untuk membangun karakter generasi muda yang cinta tanah air.
“Anak-anak ini adalah masa depan Rejang Lebong. Ketika sejak dini mereka sudah dikenalkan pada budaya bangsa, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang berakar dan bangga menjadi anak Indonesia,” ujar Fikri.
Ia juga mengapresiasi semangat guru-guru IGRA yang telah menginisiasi kegiatan ini secara mandiri.
“Saya bangga, kegiatan ini bukan sekadar seremonial, tapi benar-benar membangun nilai. Ini bukti nyata sinergi antara pemerintah, guru, dan orang tua,” tambahnya.
Kepala Kemenag Rejang Lebong, H. Lukman, juga turut memberikan apresiasi dan dukungan penuh atas terlaksananya kegiatan tersebut. Ia menyebut IGRA sebagai mitra strategis dalam pembentukan karakter dan pendidikan anak usia dini berbasis nilai-nilai keislaman dan kebudayaan lokal.
Goresan Warna, Jejak Cinta pada Budaya
Waktu terus berjalan. Sedikit demi sedikit, kain mori putih berubah menjadi lautan warna. Ada yang mencampur biru dengan merah menjadi ungu muda, ada pula yang dengan polos menulis nama mereka di pojok kain — tanda kebanggaan kecil bahwa mereka ikut berperan dalam karya bersama.
Di akhir kegiatan, ratusan karya batik mini hasil tangan anak-anak dipajang di sisi pendopo. Bupati Fikri dan Bunda Intan berdiri memandangi satu per satu, lalu menyalami beberapa anak yang tampak bangga memamerkan hasilnya. Tak ada hadiah mewah, tak ada lomba — tapi setiap anak pulang dengan kebahagiaan yang sulit dilukiskan.
Makna di Balik Setiap Tetes Warna
Milad IGRA ke-23 ini bukan sekadar peringatan usia organisasi, tetapi perayaan atas kerja keras para guru dan pengingat akan pentingnya budaya dalam pendidikan.
Dalam kesederhanaan kegiatan membatik itu, tersimpan pesan mendalam: bahwa cinta tanah air tidak selalu diajarkan lewat kata-kata besar, melainkan melalui hal kecil — seperti goresan kuas anak-anak yang menorehkan cinta di atas kain.
“Semoga dari sinilah tumbuh generasi yang mencintai budaya, mencintai bangsanya, dan terus menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan,” ujar Bunda Intan menutup acara dengan suara bergetar lembut.
Penutup: Batik, Warna, dan Doa dari Rejang Lebong
Ketika semua anak pulang membawa kain batik mereka masing-masing, suasana Pendopo kembali tenang. Namun, di setiap kain itu tersimpan harapan — harapan akan masa depan yang berwarna, berakar, dan berbudaya.
Dari tangan-tangan kecil itu, lahir pesan besar untuk negeri:
Bahwa mencintai budaya bukan masa lalu, melainkan cara terbaik menatap masa depan.
Dan pagi itu, di Pendopo Pat Petulai, warna-warna cinta itu telah lahir — sederhana, tulus, dan indah. (**)
Editor: Redaksi









