14 Oktober 2025

Media yang Sering Menghapus Berita — Kepentingan Publik atau Kepentingan Pribadi?

0
IMG-20250808-WA0003

Catatan: Deni Irwansyah

Di tengah derasnya arus informasi, publik menggantungkan kepercayaan pada media untuk menjadi penjaga kebenaran. Media adalah ruang publik di mana fakta seharusnya hidup, bukan lenyap. Namun, belakangan muncul fenomena yang meresahkan: ada media yang sering sekali menghapus berita tanpa penjelasan.

Bagi masyarakat yang melek informasi, ini menimbulkan pertanyaan besar:

Kenapa berita itu dihapus?

Siapa yang diuntungkan dari penghapusan ini?

Apakah media tersebut masih berdiri di atas kepentingan publik, atau sudah jadi alat kepentingan pribadi dan kelompok tertentu?

Penghapusan yang Mencurigakan

Sekali-dua kali menghapus berita bisa dimaklumi jika memang ada kesalahan faktual atau pelanggaran kode etik. Tapi kalau ini jadi kebiasaan, tanda tanya berubah menjadi kecurigaan. Publik mulai bertanya: apakah berita yang hilang itu mengganggu pihak berkuasa, sponsor, atau pemilik modal? Apakah media tersebut tunduk pada tekanan politik, bisnis, atau bahkan hubungan personal?

Tidak jarang, berita yang dihapus adalah berita yang mengandung kritik tajam, membongkar kasus sensitif, atau menyentuh kepentingan elite. Begitu publik mencari kembali, 404 Not Found. Tidak ada keterangan, tidak ada permintaan maaf, seolah berita itu tak pernah ada. Padahal, di era digital, jejak itu tidak mudah dihapus. Tangkapan layar, arsip, dan ingatan publik akan terus ada.

Kepentingan Publik vs Kepentingan Pribadi

Menghapus berita tanpa transparansi adalah bentuk pengkhianatan terhadap publik. Media seolah berkata: “Kami hanya berani bicara jika aman untuk kami dan orang-orang kami.” Padahal, jurnalisme sejati berdiri di atas kepentingan publik — bukan jadi pelayan bagi segelintir orang.

Jika media lebih sibuk melindungi hubungan bisnis atau menjaga kedekatan dengan penguasa, maka media itu sudah bergeser menjadi corong kepentingan pribadi. Dan ketika itu terjadi, media kehilangan legitimasi moral untuk menyebut dirinya “independen” atau “terpercaya”.

Transparansi Bukan Pilihan, tapi Kewajiban

Publik tidak menuntut media untuk selalu sempurna. Kesalahan bisa terjadi, bahkan di ruang redaksi terbaik. Tapi yang tidak bisa ditoleransi adalah penghapusan diam-diam tanpa penjelasan. Model yang sehat adalah menambahkan klarifikasi atau pembaruan di berita yang sudah ada, bukan menghapus total.

Dengan begitu, publik bisa melihat proses jurnalistik yang jujur: dari menulis, mengoreksi, hingga memperbaiki. Itulah yang membangun kepercayaan.

Publik Berhak Tahu

Ketika penghapusan berita dilakukan berulang kali, publik punya hak untuk bertanya: Media apa yang sering menghapus berita ini? Mengapa? Siapa yang diuntungkan?

Media tidak bisa berharap publik tetap percaya jika sikapnya tidak konsisten. Kepercayaan itu mahal, dan sekali hilang, sulit untuk dikembalikan.

Karena pada akhirnya, yang dihapus bukan hanya berita, tetapi juga jejak sejarah, integritas redaksi, dan kehormatan media itu sendiri. Dan jika media terus memilih diam dan menghapus demi kepentingan pribadi, jangan salahkan publik jika suatu hari nanti bertanya keras-keras:
“Apakah kalian masih layak disebut media, atau hanya papan pengumuman milik segelintir orang?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *