27 September 2025

Melawan Malas, Menolak Instan, dan Mengubah Cara Berpikir”

0

“Melawan Malas, Menolak Instan, dan Mengubah Cara Berpikir”

IMG-20250919-WA0004

Oleh: Deni Irwansyah

Setiap manusia pernah berhadapan dengan rasa malas. Ia hadir tanpa permisi, seringkali di saat kita memiliki rencana besar atau mimpi yang ingin diwujudkan. Malas itu seperti kabut yang perlahan menutupi pandangan, membuat kita kehilangan arah, kehilangan semangat, bahkan kehilangan keyakinan pada diri sendiri.

Yang unik, rasa malas jarang datang dalam bentuk perlawanan keras. Ia hadir lembut, halus, bahkan tampak menenangkan. Ia berbisik pelan: “Besok masih ada waktu. Hari ini istirahat saja dulu. Tidak perlu tergesa-gesa.” Bisikan itu terdengar logis, seakan memberi kita kesempatan untuk bernapas. Namun di balik kelembutan itu tersembunyi jebakan besar. Satu kali menunda, kita masih bisa mengejar. Dua kali menunda, kita mulai kehilangan momentum. Dan ketika penundaan berubah menjadi kebiasaan, perlahan kita terjebak dalam lingkaran yang sulit dipatahkan.

Lebih parah lagi, banyak manusia terjebak dalam pola pikir instan. Selalu ingin hasil cepat tanpa proses, ingin sukses tanpa usaha panjang, ingin berhasil tanpa pengorbanan. Dan ketika kenyataan tidak sesuai harapan, rasa malas makin kuat mencengkeram. Kita mulai bertanya-tanya: “Mengapa jalan saya begitu sulit?” Lalu, pelan-pelan kita mencari alasan di luar diri sendiri.

Yang lebih berbahaya, ketika rasa malas dan pikiran instan menumpuk, manusia cenderung mencari kambing hitam. Bukan dirinya yang dipersalahkan, melainkan keadaan. Bukan sikapnya yang dilihat, melainkan nasib. Pada akhirnya, ada yang sampai berkata: “Mungkin takdir saya begini. Sang Pencipta tidak berpihak kepada saya.” Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah ia sendiri yang menutup pintu peluang dengan sikap menunda dan cara berpikir yang keliru.

Padahal bila direnungkan dalam-dalam, takdir bukanlah musuh. Sang Pencipta tidak pernah menciptakan manusia untuk gagal. Yang sering membuat kita tertinggal adalah diri kita sendiri—cara kita menunda, cara kita berpikir instan, cara kita menyerah sebelum berjuang. Menyalahkan nasib atau Tuhan hanya akan menjauhkan kita dari kenyataan bahwa sejatinya, setiap manusia diberi potensi yang sama: untuk memilih, untuk berusaha, untuk bangkit.

Lalu, bagaimana melawannya? Kuncinya ada pada perubahan pola pikir. Saat pikiran dipenuhi alasan, rasa malas akan menang. Tetapi ketika kita menggeser perspektif—dari “sulit” menjadi “tantangan”, dari “nanti” menjadi “sekarang”, dari “mustahil” menjadi “mungkin”—energi baru akan muncul. Energi itu mendorong kita untuk bergerak, meski pelan, meski kecil.

Melawan rasa malas bukan berarti bekerja tanpa henti. Justru kita perlu memahami akar dari kemalasan itu. Seringkali kita malas karena tujuan terlalu kabur, atau justru terlalu besar sehingga terasa menakutkan. Maka pecahlah tujuan itu menjadi langkah-langkah kecil yang nyata. Mulailah dari yang sederhana, selesaikan satu per satu. Karena setiap keberhasilan kecil akan menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih besar.

Lebih dari itu, kita perlu melatih diri untuk melihat pekerjaan dan tantangan bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan. Kesempatan untuk belajar, berkembang, dan membuktikan bahwa kita mampu. Dengan pola pikir yang sehat, bahkan hal-hal yang tadinya terasa berat akan menjadi lebih ringan.

Sesungguhnya, setiap manusia punya kekuatan untuk melawan rasa malas. Kekuatan itu lahir dari kesadaran bahwa hidup adalah pilihan. Kita bisa memilih tunduk pada bisikan penundaan, atau memilih melangkah meski perlahan. Kita bisa memilih menyalahkan takdir, atau menjemput takdir dengan usaha terbaik.

Pada akhirnya, rasa malas dan keinginan instan bukanlah takdir. Ia hanya bayangan yang tumbuh dari cara kita memandang dunia. Semakin kita biarkan, semakin gelap ia menutupi cahaya. Namun begitu kita berani mengubah cara berpikir, bayangan itu akan sirna, dan cahaya keberhasilan akan terlihat jelas di depan mata.

Hidup bukan soal menunggu keberpihakan nasib, tetapi soal seberapa berani kita menolak malas, menolak instan, dan menjemput takdir dengan usaha.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *