Kepahiang, Bengkulu, ri-media.id — Senin (6/10/2025)
Fajar baru saja menyingkap kabut tipis di Desa Taba Tebelet, ketika keheningan pagi pecah oleh suara tangis yang menembus dada. Bukan suara anak yang bermain, tapi tangisan pilu bayi mungil — dari dalam sebuah kardus.
Suara itu memanggil nurani siapa saja yang mendengarnya. Getarannya seolah mengetuk langit, menyayat hati para warga yang berlarian mendekat, mencari sumber tangis yang membuat jantung berdetak tak karuan.
Kardus yang Menyimpan Kehidupan
Di depan rumah Umar (45), seorang warga desa yang bangun lebih awal pagi itu, ditemukan sebuah kardus kecil. Saat dibuka, napasnya tercekat.
Di dalamnya… terbaring bayi perempuan, terbungkus kain merah lusuh dan bertopi ungu. Masih hangat, matanya tertutup rapat, dan tangisnya lirih — seolah menjerit minta dipeluk oleh dunia yang baru saja mengenalnya.
“Saya gemetar. Tidak sanggup bicara,” kata Umar dengan mata berkaca. “Bayi itu begitu kecil… siapa yang tega meletakkannya di situ?”
Warga berdatangan. Tak ada yang bersuara. Hanya isak yang menembus pagi. Di antara kerumunan, seorang ibu muda menutup mulutnya, menahan air mata. “Kalau itu anakku… aku pasti mati duluan sebelum meninggalkannya begitu,” bisiknya pelan.
Malaikat Kecil Itu Diselamatkan
Bayi itu segera dibawa ke rumah sakit. Dokter dan bidan langsung bergerak cepat. Tubuhnya lemah, tapi denyut nadi masih ada. “Kami akan rawat semampu kami. Dia harus hidup,” ujar seorang bidan sambil mengusap air matanya.
Di ruang bersalin, suasana hening namun penuh harapan. Setiap detik adalah doa.
Setiap sentuhan perawat adalah bentuk cinta dari orang-orang yang bahkan belum sempat mengenalnya.
Tanda Tanya diBalikTega
Siapa yang meletakkannya? Tak ada yang tahu. Tak ada jejak kaki, tak ada saksi.
Hanya kardus polos dan tangis yang ditinggalkan. Tangis yang kini menjadi simbol luka bagi seluruh warga desa.
“Kalau pun ada alasan, apakah sesulit itu hingga harus membuang darah daging sendiri?” ujar Kepala Desa dengan suara bergetar.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Tak ada jawaban. Hanya rasa iba yang menyesakkan dada.
Seruan dari Kepahiang untuk Nurani Bangsa
Kisah ini bukan sekadar kabar. Ini adalah panggilan nurani.
Panggilan bagi kita semua — agar tidak menutup mata terhadap bayi-bayi yang lahir tanpa pelukan, agar kita belajar kembali apa artinya menjadi manusia.
Dari Kepahiang, kisah ini menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Tangisan bayi dari dalam kardus itu kini mengguncang hati siapa pun yang membaca, mengingatkan kita bahwa kasih sayang sejati bukan tentang siapa yang melahirkan, tetapi siapa yang berani menjaga.
Semoga bayi itu tumbuh menjadi perempuan kuat, yang kelak memaafkan dunia yang pernah meninggalkannya di dalam kardus.
Dan semoga kita, manusia dewasa ini, tak lagi membiarkan dunia sekejam itu. (Dn)
Editor: Redaksi
–










