7 Provokator Amuk Massa Termasuk Suami Istri Dibekuk Bareskrim, 592 Akun Pemicu Rusuh Diblokir
7 Provokator Amuk Massa Termasuk Suami Istri Dibekuk Bareskrim, 592 Akun Pemicu Rusuh Diblokir

Foto Tangkapan Layar YouTube Kompas
Jakarta, ri-media.id – Media sosial yang seharusnya menjadi ruang berbagi informasi, kembali disalahgunakan sebagai alat provokasi. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berhasil mengungkap jaringan penyebar konten hasutan yang memicu kerusuhan pada aksi unjuk rasa 25 dan 28 Agustus 2025.
Sebanyak tujuh orang provokator berhasil dibekuk, termasuk pasangan suami istri yang aktif menyebar ujaran kebencian di Facebook. Tak hanya itu, 592 akun media sosial yang teridentifikasi menyebarkan konten provokatif langsung diblokir untuk mencegah meluasnya aksi anarkis di masyarakat.
“Para pelaku diduga menyebarkan ajakan yang dapat memicu tindakan melawan hukum, termasuk ajakan penjarahan, pembakaran, hingga hasutan terhadap institusi negara,” tegas Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Himawan Bayu Aji dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Rabu (3/9/2025) malam.
7 Provokator dengan Peran Berbeda
Ketujuh provokator memiliki modus yang beragam, mulai dari manipulasi informasi, penyebaran video ajakan membakar, hingga membuat konten penjarahan.
1. WH (pemilik akun Instagram @bekasi_penggugat) dan KA (pemilik akun Instagram @aliansimahasiswapenggugat) ditangkap Polda Metro Jaya karena memanipulasi informasi seolah-olah Said Iqbal mengajak pelajar ikut demo buruh.
2. LFK, pemilik akun Instagram @edlarasfaizzadi, ditangkap karena membuat video provokatif yang menghasut pembakaran gedung Mabes Polri.
3. CS, pemilik akun TikTok @cecepmunich, membuat konten ajakan demo di Bandara Soekarno-Hatta. Ia tidak ditahan, tetapi dikenakan wajib lapor.
4. IS, pemilik akun TikTok @adhs02775, membuat konten ajakan menjarah rumah anggota DPR seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Puan Maharani. Saat ini IS ditahan di Rutan Bareskrim.
5. Pasangan suami istri SB dan G, pengelola akun Facebook NANU dan Bambu Runcing, ditangkap karena menghasut massa agar menyerbu rumah anggota DPR Ahmad Sahroni serta Polres Metro Jakarta Utara.
“Modus operandi mereka sama, yakni membuat dan menyebarkan konten yang menimbulkan kebencian, lalu menghasut masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis,” ungkap Himawan.
Patroli Siber Sejak 23 Agustus
Bareskrim Polri melakukan patroli siber sejak 23 Agustus 2025. Hasilnya, ditemukan ratusan akun yang aktif menyebarkan konten hasutan dan ujaran kebencian. Dari temuan tersebut, 592 akun diblokir setelah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Langkah cepat ini dilakukan agar percikan provokasi tidak berkembang menjadi api kerusuhan yang lebih besar.
Pesan Penting untuk Pengguna Medsos
Kasus ini kembali menjadi peringatan serius bahwa media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi ruang berbagi informasi positif, namun di sisi lain bisa dipakai untuk memecah belah masyarakat.
Polri mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi, apalagi langsung menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya.
Beberapa langkah bijak yang perlu diperhatikan pengguna media sosial:
Saring sebelum sharing. Pastikan informasi yang diterima benar adanya dan bersumber jelas.
Waspadai akun anonim. Banyak akun palsu sengaja dibuat untuk memancing emosi publik.
Hindari ujaran kebencian. Tulisan atau video yang menyinggung suku, agama, ras, maupun kelompok tertentu bisa memicu perpecahan.
Laporkan konten berbahaya. Jika menemukan konten provokatif, segera laporkan ke platform atau pihak berwenang.
Ingat jejak digital. Semua yang diunggah di media sosial dapat ditelusuri dan berujung pada konsekuensi hukum.
“Polri tidak akan memberikan ruang bagi penyebar kebencian dan provokator. Media sosial harus digunakan untuk hal-hal yang membangun, bukan merusak,” tegas Brigjen Himawan. Saat Konferensi pers
Edukasi Digital Jadi Kunci
Selain penindakan hukum, upaya edukasi literasi digital juga dinilai penting agar masyarakat lebih bijak. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat bisa membedakan antara kritik sehat dengan provokasi yang berbahaya.
Langkah hukum terhadap para provokator ini diharapkan tidak hanya menghentikan kerusuhan, tetapi juga menjadi pembelajaran kolektif bahwa jari di atas layar ponsel bisa menjadi alat perdamaian atau sumber bencana, tergantung bagaimana kita menggunakannya. (rd)
Editor: Redaksi