Redaksi: RI MEDIA
Dalam era informasi yang serba cepat seperti sekarang, peran jurnalis menjadi semakin krusial dalam menjaga kualitas dan kebenaran informasi yang disampaikan kepada publik. Namun, sering kali batas antara opini dan berita menjadi kabur, terutama ketika seorang jurnalis tidak mampu memisahkan peran sebagai pelapor fakta dan pembentuk opini. Akibatnya, dapat timbul kebingungan hingga kesesatan informasi di tengah masyarakat.
Jurnalis bukan sekadar seseorang yang memiliki kartu pers dan dapat mengakses konferensi pers atau lokasi liputan tertentu. Lebih dari itu, jurnalis adalah penjaga kebenaran, pengabdi fakta, dan penyaji informasi yang objektif. Profesi ini menuntut tanggung jawab moral dan etika yang tinggi. Oleh karena itu, penting bagi setiap jurnalis untuk memahami perbedaan mendasar antara berita dan opini.
Berita adalah laporan tentang fakta yang terjadi, berdasarkan data, saksi, dan peristiwa aktual. Isinya harus netral, tidak memihak, dan tidak dicampuri pendapat pribadi. Dalam menyusun berita, jurnalis wajib menjalankan prinsip cover both sides, memastikan semua pihak terkait diberi ruang bicara secara seimbang. Berita yang baik bisa diuji kebenarannya, memiliki sumber yang jelas, dan tidak bersifat tendensius.
Sebaliknya, opini adalah pandangan, analisis, atau penilaian pribadi terhadap suatu peristiwa. Opini boleh subjektif, tetapi tetap harus berbasis pada logika dan data yang kuat. Opini biasanya hadir dalam bentuk tajuk rencana, kolom, atau esai. Meskipun lebih bebas dalam penyampaiannya, opini yang baik tetap mematuhi etika jurnalistik, tidak menyerang secara pribadi, dan tidak mengarah pada fitnah, provokasi, atau ujaran kebencian.
Kesalahan dalam mencampur adukkan antara opini dan berita bisa berakibat fatal. Menyisipkan kalimat bernada tuduhan atau penilaian pribadi dalam laporan berita faktual akan menggiring pembaca pada kesimpulan yang belum tentu benar. Ini dapat menciptakan bias publik, bahkan memperkeruh suasana sosial dan politik.
Jurnalis yang profesional tahu kapan ia sedang beropini dan kapan ia sedang menyampaikan berita. Ia paham bahwa kredibilitas dibangun bukan dari gaya bahasa sensasional, tetapi dari ketepatan informasi dan kejujuran dalam menyampaikan fakta. Dalam dunia jurnalistik yang ideal, kebenaran tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi, tekanan kekuasaan, atau godaan viralitas.
Maka dari itu, menjadi jurnalis bukan hanya soal status atau identitas dari selembar kartu pers. Jauh lebih penting adalah integritas, kompetensi, dan tanggung jawab dalam menyampaikan informasi kepada publik. Membedakan antara opini dan berita adalah langkah awal untuk memastikan karya jurnalistik tidak menyesatkan, melainkan mencerahkan.