Wartawan Tidak Boleh Merangkap sebagai LSM – Demi Etika dan Objektivitas Pers

Ilustrasi

Catatan: Redaksi RI MEDIA

Dalam dunia jurnalistik yang profesional dan beretika, peran wartawan sangat jelas: menyampaikan informasi yang faktual, berimbang, dan independen. Namun, belakangan ini muncul fenomena di mana seorang wartawan juga berperan ganda sebagai aktivis LSM, bahkan menulis berita sekaligus menjadi narasumbernya sendiri. Ini adalah praktik yang harus diluruskan karena merusak prinsip dasar jurnalisme.

1. Benturan Kepentingan (Conflict of Interest)
Ketika seorang wartawan juga menjadi bagian dari LSM, maka ada potensi besar benturan kepentingan. Wartawan tersebut akan sulit memisahkan antara kepentingan organisasinya dan tugas jurnalistiknya. Ketika menulis isu yang berkaitan dengan agendanya sendiri, bagaimana publik bisa percaya bahwa tulisannya objektif?

2. Hilangnya Independensi Pers
Independensi adalah napas dari jurnalisme. Seorang wartawan harus berdiri di posisi netral, tidak terikat oleh kepentingan kelompok manapun. Saat ia menjadi bagian dari LSM, secara otomatis ia memiliki agenda perjuangan tertentu. Ini membuat liputannya bias dan tidak bisa lagi disebut sebagai karya jurnalistik yang netral.

3. Tidak Etis Menjadi Penulis Sekaligus Narasumber
Dalam dunia jurnalistik, tidak diperbolehkan seorang wartawan mengutip dirinya sendiri sebagai narasumber. Ini bukan hanya tidak etis, tapi juga mempermainkan kepercayaan publik. Wartawan yang menulis sekaligus menjadi narasumber berarti mengangkat opininya sendiri seolah-olah itu adalah fakta atau pandangan yang mewakili publik. Padahal, ia hanya mengulang apa yang ingin ia kampanyekan, bukan menyampaikan informasi yang dikonfirmasi secara profesional.

4. Merusak Citra Profesi Wartawan
Jika praktik ini dibiarkan, maka publik akan semakin meragukan kredibilitas wartawan dan media secara keseluruhan. Wartawan akan dicap sebagai “alat propaganda” kelompok tertentu, bukan lagi sebagai penjaga kebenaran. Ini tentu sangat merugikan bagi seluruh profesi jurnalis yang bekerja dengan integritas tinggi.

Sudah saatnya organisasi media dan komunitas jurnalis menegakkan kembali garis batas yang tegas antara aktivisme dan jurnalistik. Wartawan harus memilih: menjadi penjaga objektivitas publik atau menjadi bagian dari gerakan tertentu. Tidak bisa keduanya sekaligus. Karena jika wartawan mulai bermain di dua kaki, maka publiklah yang akan menjadi korban dari informasi yang bias dan manipulatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *