Deni Irwansyah
Dana desa merupakan amanah negara yang diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa. Namun, dalam praktiknya, pengelolaan dana desa sering kali menimbulkan persoalan karena lemahnya pengawasan, minimnya transparansi, dan adanya konflik kepentingan di tubuh pemerintahan desa itu sendiri.
Salah satu hal mendasar yang harus diperhatikan adalah aset awal kepala desa sebelum menjabat. Pencatatan harta kekayaan kepala desa secara jujur dan terbuka menjadi tolak ukur penting untuk mengukur peningkatan kekayaan yang tidak wajar selama masa jabatan. Jika kekayaan kepala desa melonjak secara drastis, sedangkan pembangunan di desa stagman, hal ini patut dicurigai sebagai indikasi penyalahgunaan dana publik.
Selain itu, penting pula untuk memisahkan secara tegas antara penghasilan pribadi dari usaha sah kepala desa dan gaji resmi dari negara. Kepala desa yang memiliki usaha pribadi tidak dilarang memperoleh penghasilan tambahan, namun semua bentuk pengelolaan dana desa tetap harus diawasi agar tidak terjadi benturan kepentingan, misalnya proyek desa yang “diborongkan” oleh usahanya sendiri.
Kondisi makin parah ketika perangkat desa direkrut dari kalangan keluarga sendiri. Hal ini membuka potensi nepotisme dan korupsi berjamaah. Struktur pemerintahan desa seharusnya dibangun atas dasar profesionalisme, bukan kekerabatan.
Dalam hal ini, fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga pengawas perlu diperkuat. BPD harus aktif menjalankan peran kontrol terhadap pemerintah desa, termasuk dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan penggunaan dana desa. Tanpa peran aktif BPD, sistem check and balance di desa tidak akan berjalan efektif.
Pengelolaan dana desa harus dilakukan secara akuntabel dan terbuka. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan harus mendapat informasi yang jelas dan berkala tentang penggunaan dana desa. Keterbukaan ini bisa dilakukan melalui papan informasi desa, forum musyawarah warga, atau laporan digital yang bisa diakses publik.
Lebih jauh lagi, audit lembaga pemerintah di desa perlu dilakukan secara rutin dan terbuka oleh inspektorat kabupaten atau lembaga independen. Audit yang dilakukan secara transparan akan memberikan efek jera bagi para kepala desa yang berniat menyelewengkan dana, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebagai tolak ukur kekayaan dan integritas, kepala desa wajib melaporkan harta kekayaan kepada publik sejak awal menjabat dan setiap akhir tahun anggaran. Uang negara yang mereka kelola bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan warga.
Sudah saatnya desa menjadi contoh transparansi dan tata kelola yang baik. Jangan sampai dana desa yang bertujuan mulia justru menjadi ladang korupsi di tingkat akar rumput. Masyarakat harus dilibatkan, lembaga desa harus diperkuat, dan pengawasan harus diperketat demi terwujudnya desa yang adil, makmur, dan bermartabat.